 |
Ilustrasi. Seseorang akan mengunggah postingan melalui media sosial Twitter.Pexels/solen-feyissa/ |
Berkembangnya teknologi di era saat ini, membawa perkembangan pula pada
bentuk media massa. Terlebih di era digital saat ini mendorong bermunculannya
portal-portal berita online yang kemudian juga membuat akun-akun berita di
jejaring sosial. Diantaranya Twitter, Facebook, Instagram, Tiktok dan lainnya.
Tentu
hal itu semakin memudahkan orang mengakses informasi atau pemberitaan. Hanya
dengan menggunakan gadget atau smartphone mereka dengan mudah memperoleh dan
bahkan men-share informasi.
Selain
bisa memperoleh dan menyebarkan informasi dengan mudah, adanya media sosial,
memudahkan orang berekspresi dan berpendapat melalui akun media sosial
pribadinya.
Namun,
kebebasan tersebut diatur dengan Undang-undang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE). Sehingga ketika ingin mengunggah sesuatu di media sosial
tidak bisa sembarangan. UU ITE menjadi sebuah ketentuan untuk setiap orang yang
menggunakan media elektronik dan digital.
Gara-gara Unggahan di
Medsos Berujung Pidana
Dan
saat ini keberadaan media sosial seakan menjadi pisau bermata dua, tidak hanya
membawa dampak positif namun juga membawa pengguna bisa terjerat kasus hukum.
Seperti
halnya kasus hukum yang sempat heboh tahun 2019 lalu, yang dialami oleh
Sutradara Film Dokumenter Sexy Killer Dandhy Dwi Laksono, karena cuitannya di media
sosial twitter.
Ia
ditangkap kepolisian dan ditetapkan menjadi tersangka karena cuitannya terkait
Jayapura dan Wamena dianggap mengandung ujaran kebencian. Akhirnya Dandhy
diperbolehkan pulang keesokan harinya, meski masih berstatus tersangka.
Berikut cuitan Dandhy
di media sosial yang berujung pidana.
 |
Tangkap layar unggahan Dandhy di Twitter yang berujung pidana. |
Atas cuitannya itu, Dandhy disangkakan melanggar Pasal 28 Ayat (2) jo
Pasal 45 A Ayat (2) UU ITE No.8 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (ITE) dan atau Pasal 14 dan Pasal 15 No. 1 Tahun 1946 tentang hukum
pidana.
Dhandy
dikenal sebagai jurnalis senior yang sempat bekerja di sejumlah media cetak,
radio, online dan televisi. Ia juga aktivis HAM yang banyak menyoroti
permasalahan kemanusiaan.
Saat
tersiar kabar penangkapannya, datang banyak dukungan dari berbagai kalangan
yang memprotes sikap tersebut. Tagar #BebaskanDandhy dan #KamiBersamaDandhy
kemudian ramai di media sosial terutama Twitter dan menjadi trending topik.
Bahkan
seniman Sudjiwo Tedjo lewat akun Twitternya turut merespon hal tersebut: “Aku
tak setuju pendapatmu, tapi akan kubela sampai mati hak kamu untuk
berpendapat,” Voltaire, filsuf Prancis." tulis @Sudjiwotedjo disertai
tagar #bebaskandandhylaksono.
Sutradara
kenamaan Joko Anwar juga turut bersuara dengan men-tweet: “Setiap orang berhak
atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat" --
Undang-Undang Dasar 1945" tulis @jokoanwar sambil menyertai tiga tagar
#BebaskanAnandaBadudu #BebaskanDandhyLaksono dan #hapuspasalkaretUUITE.
Jerat UU ITE Pemicu Terbungkamnya
Kebebasan Berpendapat
Dikutip
dari tirto.id, meski kasusnya telah dicabut, namun menurut Staf Biro
Penelitian, Pemantauan, dan Dokumentasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban
Tindak Kekerasan (Kontras) Rivanlee Anandar mengatakan penangkapan Dandhy
tersebut membuktikan demokrasi – yang salah satu cirinya tercermin lewat
kebebasan berekspresi – belum benar-benar hadir.
Kritik
serupa disampaikan anggota Bidang Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
Indonesia Joni Aswira. Joni, yang mendampingi Dandhy di kantor polisi saat
dipanggil, merasa janggal dengan pemanggilan Dandhy dan rekannya karena “mereka
tidak pernah dijadikan status terperiksa.”
Joni
bahkan menyampaikan penangkapan Dandhy jadi sinyal bahwa ke depan aparat akan
merespons situasi politik akhir-akhir ini “dengan pembungkaman”.
Kepala
Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono mengatakan terkait Dandhy,
Argo bilang ini adalah laporan model A, alias laporan polisi sendiri. Yang lapor
adalah polisi bernama Asep Sanusia. Dandhy dianggap salah satu influencer yang
paling banyak didengar terkait Papua.
Selain
itu banyak jurnalis tanah air yang mendesak polisi mencabut status tersangka
Dandhy Dwi Laksono, karena hal itu bagian dari kebebasan berpendapat. Apa yang
dilakukan Dhandy adalah bentuk kritik terhadap pemerintah yang tak seharusnya
dipidana.
UU ITE VS UUD 45
Terkesan
ada pertentangan Pasal 28 Ayat (2) jo Pasal 45 A Ayat (2) UU ITE dengan Pasal 1
ayat (3) UUD 1945.
Dalam
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi “Indonesia adalah negara hukum”. Bahwa
prinsip terpenting dalan negara hukum adalah dijadikannya hukum sebagai media
dalam merespon dan menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang muncul di
masyarakat.
Kasus
Dandhy yang dijerat Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45A ayat (2) UU ITE
memperlihatkan seolah ketika pemerintah dikritik seperti saat rezim Orde Baru
yang bertindak represif (upaya yang bisa dilakukan oleh individu, kelompok,
atau pemerintahan untuk mengontrol masyarakat).
Menilik
sekilas pada zaman Orde Baru, banyak kritik dan diskusi dibubarkan atau bahkan
bisa berujung pada penahanan.
Hal
itu tentunya menjadi kekhawatiran. Mengingat kembali zaman Orde Baru setiap ada
yang mengkritisi, dengan mudahnya dipidanakan dengan jerat pasal UU ITE yang
saat itu menjadi UU yang represif.
Fenomena
tersebut tidak hanya marak dikalangan pemerintahan, tetapi juga di kalangan
selebritas yang kebanyakan menggunakan pasal pencemaran nama baik atau
perbuatan tidak menyenangkan.
Sebaiknya,
spirit dijaminnya hak menyatakan pendapat adalah perlindungan hukum dari negara
kepada orang yang menyatakan pendapat apabila pendapatnya tidak disulai oleh
pihak yang memegang kekuasaan. Sehingga orang yang menyatakan pendapat tersebut
tidak bisa diintimidasi dengan menggunakan kekuasaan.
Bijak Besosial Media/
Literasi Bermedia Sosial
Hukum
sendiri hadir sebagai pengatur antara hak berpendapat dan kewajiban seseorang
untuk menghormati hak orang lain. Hal ini memiliki arti bahwa dalam menyatakan
pendapat dalam bentuk tulisan dan atau lisan, tetap ada batasan-batasan agar
tidak menyakiti maupun merugikan orang lain.
Sebaiknya
ketika ingin mengunggah sesuatu dipikirkan kembali, koreksi apakah berbau SARA
atau tidak, menyinggung orang atau tidak. Dalam bermedia sosial kita juga tidak
diperkenankan melontarkan ujaran kebencian yang berdampak pada hukum pidana.
Di
dalam UU ITE juga mengatur tentang kebebesan dalam mengakses segala informasi
elektronik di internet. Hal tersebut dimaksudkan agar warga masyarakat selalu up to date tentang perkembangan
informasi terkini. Dan terhindar dari informasi miring atau bahkan hoax yang
menyesatkan.
Dengan demikian
diperlukan peran pihak terkait baik dari sisi hukum, pemerintah, dan pakar
komunikasi untuk mensosialisasikan tentang pentingnya literasi dalalm bermedia
sosial. Saat ini yang terjadi perkembangan teknologi yang cepat namun literasi
tentang penggunaannya masih minim.*** (Titis Ayu W./21055540)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar