27 Okt 2021

Gara-Gara Unggahan di Media Sosial Berujung Pidana (Terpenjaranya Kebebasan Berpendapat)

Ilustrasi. Seseorang akan mengunggah postingan melalui media sosial Twitter.Pexels/solen-feyissa/ 

Berkembangnya teknologi di era saat ini, membawa perkembangan pula pada bentuk media massa. Terlebih di era digital saat ini mendorong bermunculannya portal-portal berita online yang kemudian juga membuat akun-akun berita di jejaring sosial. Diantaranya Twitter, Facebook, Instagram, Tiktok dan lainnya.

Tentu hal itu semakin memudahkan orang mengakses informasi atau pemberitaan. Hanya dengan menggunakan gadget atau smartphone mereka dengan mudah memperoleh dan bahkan men-share informasi.

Selain bisa memperoleh dan menyebarkan informasi dengan mudah, adanya media sosial, memudahkan orang berekspresi dan berpendapat melalui akun media sosial pribadinya.

Namun, kebebasan tersebut diatur dengan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Sehingga ketika ingin mengunggah sesuatu di media sosial tidak bisa sembarangan. UU ITE menjadi sebuah ketentuan untuk setiap orang yang menggunakan media elektronik dan digital.

Gara-gara Unggahan di Medsos Berujung Pidana

Dan saat ini keberadaan media sosial seakan menjadi pisau bermata dua, tidak hanya membawa dampak positif namun juga membawa pengguna bisa terjerat kasus hukum.

Seperti halnya kasus hukum yang sempat heboh tahun 2019 lalu, yang dialami oleh Sutradara Film Dokumenter Sexy Killer Dandhy Dwi Laksono, karena cuitannya di media sosial twitter.

Ia ditangkap kepolisian dan ditetapkan menjadi tersangka karena cuitannya terkait Jayapura dan Wamena dianggap mengandung ujaran kebencian. Akhirnya Dandhy diperbolehkan pulang keesokan harinya, meski masih berstatus tersangka.

Berikut cuitan Dandhy di media sosial yang berujung pidana.


Tangkap layar unggahan Dandhy di Twitter yang berujung pidana.

Atas cuitannya itu, Dandhy disangkakan melanggar Pasal 28 Ayat (2) jo Pasal 45 A Ayat (2) UU ITE No.8 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan atau Pasal 14 dan Pasal 15 No. 1 Tahun 1946 tentang hukum pidana. 

Dhandy dikenal sebagai jurnalis senior yang sempat bekerja di sejumlah media cetak, radio, online dan televisi. Ia juga aktivis HAM yang banyak menyoroti permasalahan kemanusiaan.

Saat tersiar kabar penangkapannya, datang banyak dukungan dari berbagai kalangan yang memprotes sikap tersebut. Tagar #BebaskanDandhy dan #KamiBersamaDandhy kemudian ramai di media sosial terutama Twitter dan menjadi trending topik.

Bahkan seniman Sudjiwo Tedjo lewat akun Twitternya turut merespon hal tersebut: “Aku tak setuju pendapatmu, tapi akan kubela sampai mati hak kamu untuk berpendapat,” Voltaire, filsuf Prancis." tulis @Sudjiwotedjo disertai tagar #bebaskandandhylaksono.

Sutradara kenamaan Joko Anwar juga turut bersuara dengan men-tweet: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat" -- Undang-Undang Dasar 1945" tulis @jokoanwar sambil menyertai tiga tagar #BebaskanAnandaBadudu #BebaskanDandhyLaksono dan #hapuspasalkaretUUITE.

Jerat UU ITE Pemicu Terbungkamnya Kebebasan Berpendapat

Dikutip dari tirto.id, meski kasusnya telah dicabut, namun menurut Staf Biro Penelitian, Pemantauan, dan Dokumentasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Rivanlee Anandar mengatakan penangkapan Dandhy tersebut membuktikan demokrasi – yang salah satu cirinya tercermin lewat kebebasan berekspresi – belum benar-benar hadir.

Kritik serupa disampaikan anggota Bidang Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Joni Aswira. Joni, yang mendampingi Dandhy di kantor polisi saat dipanggil, merasa janggal dengan pemanggilan Dandhy dan rekannya karena “mereka tidak pernah dijadikan status terperiksa.”

Joni bahkan menyampaikan penangkapan Dandhy jadi sinyal bahwa ke depan aparat akan merespons situasi politik akhir-akhir ini “dengan pembungkaman”.

Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono mengatakan terkait Dandhy, Argo bilang ini adalah laporan model A, alias laporan polisi sendiri. Yang lapor adalah polisi bernama Asep Sanusia. Dandhy dianggap salah satu influencer yang paling banyak didengar terkait Papua.

Selain itu banyak jurnalis tanah air yang mendesak polisi mencabut status tersangka Dandhy Dwi Laksono, karena hal itu bagian dari kebebasan berpendapat. Apa yang dilakukan Dhandy adalah bentuk kritik terhadap pemerintah yang tak seharusnya dipidana.

UU ITE  VS UUD 45

Terkesan ada pertentangan Pasal 28 Ayat (2) jo Pasal 45 A Ayat (2) UU ITE dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.

Dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi “Indonesia adalah negara hukum”. Bahwa prinsip terpenting dalan negara hukum adalah dijadikannya hukum sebagai media dalam merespon dan menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang muncul di masyarakat.

Kasus Dandhy yang dijerat Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45A ayat (2) UU ITE memperlihatkan seolah ketika pemerintah dikritik seperti saat rezim Orde Baru yang bertindak represif (upaya yang bisa dilakukan oleh individu, kelompok, atau pemerintahan untuk mengontrol masyarakat).

Menilik sekilas pada zaman Orde Baru, banyak kritik dan diskusi dibubarkan atau bahkan bisa berujung pada penahanan.

Hal itu tentunya menjadi kekhawatiran. Mengingat kembali zaman Orde Baru setiap ada yang mengkritisi, dengan mudahnya dipidanakan dengan jerat pasal UU ITE yang saat itu menjadi UU yang represif.

Fenomena tersebut tidak hanya marak dikalangan pemerintahan, tetapi juga di kalangan selebritas yang kebanyakan menggunakan pasal pencemaran nama baik atau perbuatan tidak menyenangkan.

Sebaiknya, spirit dijaminnya hak menyatakan pendapat adalah perlindungan hukum dari negara kepada orang yang menyatakan pendapat apabila pendapatnya tidak disulai oleh pihak yang memegang kekuasaan. Sehingga orang yang menyatakan pendapat tersebut tidak bisa diintimidasi dengan menggunakan kekuasaan.

Bijak Besosial Media/ Literasi Bermedia Sosial

Hukum sendiri hadir sebagai pengatur antara hak berpendapat dan kewajiban seseorang untuk menghormati hak orang lain. Hal ini memiliki arti bahwa dalam menyatakan pendapat dalam bentuk tulisan dan atau lisan, tetap ada batasan-batasan agar tidak menyakiti maupun merugikan orang lain.

Sebaiknya ketika ingin mengunggah sesuatu dipikirkan kembali, koreksi apakah berbau SARA atau tidak, menyinggung orang atau tidak. Dalam bermedia sosial kita juga tidak diperkenankan melontarkan ujaran kebencian yang berdampak pada hukum pidana.

Di dalam UU ITE juga mengatur tentang kebebesan dalam mengakses segala informasi elektronik di internet. Hal tersebut dimaksudkan agar warga masyarakat selalu up to date tentang perkembangan informasi terkini. Dan terhindar dari informasi miring atau bahkan hoax yang menyesatkan.

Dengan demikian diperlukan peran pihak terkait baik dari sisi hukum, pemerintah, dan pakar komunikasi untuk mensosialisasikan tentang pentingnya literasi dalalm bermedia sosial. Saat ini yang terjadi perkembangan teknologi yang cepat namun literasi tentang penggunaannya masih minim.*** (Titis Ayu W./21055540)